
JAKARTA, DanauToba.org — Dugaan transfer pricing dan manipulasi Laporan Keuangan TPL (PT. Toba Pulp Lestari Tbk). Artikel ini ditulis Prof Adler Haymans Manurung pada situs KalderaKita.com pada Selasa (10/8/2021). Pada situs DanauToba.org, kami kutip tidak secara keseluruhan dan kami sampaikan seperlunya saja. Selain itu, artikel ini sebagai bahan diskusi yang akan disampaikan Prof Adler H. Manurung dalam webinar pada Senin (16/8/2021).
Prof Adler mengajak kita melihat pajak TPL dalam laporan keuangan perusahaan yang diunggah di website resmi TPL, tobapulp.com. Perhitungan pajak berdasarkan laba (rugi) fiskal yang dihitung dari laba (rugi) komersial dan koreksi fiskalnya. Bila menggunakan laba-rugi saja, tidak akan begitu bagus hasilnya. Sebab itu, perlu dilakukan perhitungan seperti diperlihatkan di bawah ini.
Berdasarkan Tabel 5.1, sampai akhir Desember 2021, perusahaan mengalami rugi fiskal US$77,903 juta. Besarnya rugi fiskal ini menjadi pertanyaan bagi para pihak yang mendalami nilai perusahaan karena hendak membeli saham. Jika keuntungan pada 2021 sebesar US$25,091 juta, maka perusahaan tidak akan membayar pajak karena ada rugi fiskal US$25,09 juta pada 2016. Sesuai peraturan pajak, kerugian fiskal dapat diperhitungkan sampai 5 tahun.
Data pada Tabel 5.1 memperlihatkan bahwa TPL tidak membayar pajak sampai tahun 2026 karena rugi fiskal masih ada di tahun 2020 yang totalnya US$ 77,903 juta. Hutan dihabisi tapi pemerintah tidak mendapatkan apa-apa. Masyarakat di sekitar pabrik dan konsesi TPL sendiri bukannya menjadi sejahtera melainkan kian papa dan menderita. Sungguh ironis, tentu!
Kerugian fiskal yang besar ini dikarenakan penyusutan aset yang cukup besar setiap tahun. Bagaimana itu bisa terjadi? Itu pertanyaannya. Penyusutan aset tetap dan penambahan aset perusahaan setiap tahunnya dapat diperhatikan Tabel 5.2 di bawah ini.
Selama 5 tahun terakhir perusahaan menambah aset sebesar US$108.692.000 atau sekitar Rp 1,413 triliun. Investasi di daerah Toba Rp 1,413 trilliun telah menjadi pembangunan yang mercu suar. Hutan hilang tapi tidak terlihat ada hasilnya untuk negara dan penduduk setempat. Sangat disayangkan ini terjadi.
Pada sisi lain, bila diperhatikan, di laporan arus kas perusahaan ada pengeluaran kepada pemasok yang cukup besar setiap tahunnya (perhatikan grafik di atas). Pengeluaran kepada pemasok bisa merupakan pembayaran untuk kayu-kayu yang diserahkan berbagai pihak. Bisa saja kayu yang diambil bukan dari areal perusahaan dan pelakunya adalah masyarakat yang kemudian menjual ke TPL. Toh, hanya ada satu penerima kayu asal Toba tersebut. Jika TPL membeli kayu curian dari masyarakat berarti mereka ikut serta melakukan tindakan pidana.
Besarnya pembayaran ke pemasok setiap tahun bisa diduga (hipotesis) merupakan tindakan manipulasi untuk persediaan. Padahal, persediaan perusahaan tidak naik sebesar pembayaran ke pemasok tersebut. Secara kasat mata, manipulasi ini semuanya bermuara ke pembayaran pajak atau juga transfer pricing. Jika pembayaran ke pemasok besar maka kaitannya adalah jumlah persediaan.
Dari grafik berikut ini kelihatan secara jelas tidak adanya hubungan yang signifikan antara persediaan dengan pembayaran ke pemasok. Sehingga besar dugaan transfer pricing telah dilakukan perusahaan. Perusahaan besar yang bisa melakukan transfer pricing seperti ini; yang kecil tidak.
Hipotesisnya, perusahaan membuat dirinya tidak perlu membayar pajak dengan cara membuat penyusutan yang besar. Caranya? Membeli aset bernilai besar setiap tahunnya. Pembelian aset yang besar diduga (hipotesis) bertujuan agar perusahaan tidak perlu membayar pajak. Pembelian aset ini tidak sulit pencatatannya; sebab itulah hal ini dilakukan.
Berdasarkan data yang dikemukakan di atas sudah selayaknya pemerintah melakukan due-dilligence (menginvestigasi riwayat keuangan) atas investasi yang dilakukan TPL. Pengecekan secara langsung perlu betul karena itu sangat berpengaruh terhadap kewajiban pajak perusahaan ini.
Penulis: Prof Adler Haymans Manurung (guru besar keuangan dan pengamat bursa)