
JAKARTA, DanauToba.org — Banyak orang berbicara pembangunan masih merujuk pada sesuatu yang berwujud (tangible) atau secara harafiah sesuatu yang dapat dilihat dan diraba/disentuh. Sebaliknya, sesuatu yang tak berwujud (intangible) berupa nilai-nilai yang tampak dari perilaku manusia, seringkali dilupakan. Hal yang tak berwujud inilah menjadi diskusi yang menarik pada acara Diskusi Kamisan “Lake Toba Coffee Evening” untuk menyikapi hasil jajak pendapat masyarakat terhadap Pembangunan kawasan Danau Toba, Kamis malam (17/3/2016).
Diskusi Kamisan YPDT ini membahas dua topik, yaitu: hasil jajak pendapat di media sosial Grup Facebook Yayasan Pencinta Danau Toba [YPDT]) dari tanggal 1-15 Maret 2016 dan tindak lanjut hasil FGD Menyelamatkan Rumah Adat Batak (Save Batak’s House) di Anjungan SUMUT, Kamis (3/3/2016) lalu (lihat: Siaran Pers FGD Menyelamatkan Rumah Adat Batak (Save Batak’s House)).
Hasil jajak pendapat (brain storming) melalui media sosial YPDT mengenai 3 hal yang paling diinginkan masyarakat untuk pembangunan Kawasan Danau Toba (KDT), antara lain: infrastruktur, lingkungan, dan Sumber Daya Manusia. Selain itu, ada juga dua hal lain yang cukup penting disampaikan responden, yaitu: kebijakan/peraturan dan keamanan (security). (lihat: Hasil Jajak Pendapat)).
Peserta diskusi menilai bahwa pembangunan yang terjadi saat ini masih menekankan pembangunan yang sifatnya fisik (tangible) dan cenderung melupakan hal pembangunan yang sifatnya tak berwujud (intangible). Padahal yang intangible menjadi ‘roh’ (spirit) pembangunan yang bersifat tangible.

Maruap Siahaan, salah seorang peserta diskusi yang juga Ketua Umum YPDT mengatakan bahwa orang Batak itu sangat Physical dan yang disoroti hanya aspek fisik saja. Padahal itu sesungguhnya baru 4-5% untuk pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Bicara infrastruktur itu hanya bicara akses ke kawasan Danau Toba, sarana dan prasarana jalan-jalan. Kita tidak hanya bicara yang tampak (tangible), tetapi juga yang tidak tampak (intangible).
“Pembangunan KDT itu dilihat ke depan dalam 10, 20, 30,…, 100, sampai 1.000 tahun. Apa yang dibangun manusia itu, sehingga apa bisa kita lihat itu (red: tangible) menjadi obyek sumber kehidupan, kesejahteraan, dan kebahagiaan. Jadi yang dibutuhkan di KDT itu adalah sudut pandang kehidupan baru. Karena itu, dalam melihat Kota Berkat di atas Bukit, adalah mempersiapkan manusia yang memiliki karakter dan menjadi berkat untuk waktu yang sangat panjang. Saya melihat ini seperti apa yang terjadi pada Yahudi (red: Bangsa Israel).” kata Ketum YPDT.
Dalam diskusi ini, Pak Maruap secara langsung berbicara tentang visi YPDT yang perlu difahami orang-orang Batak sebagai sudut pandang yang mencerahkan, sehingga orang-orang Batak memiliki karakter berkualitas dan menjadi berkat bagi bangsa-bangsa lain (bandingkan dengan Bangsa Israel).
Pertanyaan kritis Pak Maruap kepada kita adalah bagaimana orang Batak memiliki tipikal karakter yang benar-benar berkualitas bukan hanya dari kecerdasan, kalau kita sebut tiga dimensi utama: Theos, logos, dan ethos, tetapi juga memiliki value (bernilai)? Baginya pembenahan utama pada orang Batak itu di valuenya.
Mengapa value menurut Pak Maruap menjadi penting bagi pembenahan karakter orang Batak? Karena kita ini sekarang mengalami pergeseran value (makna/nilai) dari tiga dimensi utama tersebut. Ia menjelaskan bahwa dalam logos (kerinduan pada pengetahuan yang tinggi) makin memudar. Mengapa hal ini dapat terjadi? Ini karena hal yang rohani (Theos) telah bergeser ke arah yang sekuler, hedonisme, materialisme, dan konsumtivisme, sehingga setiap sudut pandang menjadi kapitalisme. Hal seperti ini menimbulkan dampak buruk ekonomis. Semuanya menjadi hal yang bersifat transaksional. Karena itu, kita harus mengubah pola pikir (mind set) orang-orang yang memiliki value yang bersifat transaksional dan materialistis menjadi Valuenya adalah BERKAT.
KDT sebenarnya adalah Kota Berkat di atas bukit yang sudah menerima BERKAT. BERKAT itu sudah diberikan TUHAN sebagai anugerah (given blessing) bagi orang-orang Batak di KDT. KDT sebenarnya adalah berkat dari semua aspek, seperti keindahannya, kesejukannya, sumberdaya alam yang melimpah, dan sumberdaya manusia pun luar biasa, seperti kecerdasan orang-orang Batak pun luar biasa. Dari sisi manusia dan lingkungannya sebagai citra manusia sudah lengkap ada di kawasan tersebut. Kalau ini semua sudah lengkap, kita perlu aksesibilitasnya saja ke kawasan tersebut.
Terkait infrastruktur, pemikiran Pak Maruap melampaui pemahaman infrastruktur yang tangible. Ia berkata: “Kita perlu membangun infrastruktur yang intangible, yaitu networking.” Infrastruktur yang tangible seperti jalan, akses teknologi informasi dan komunikasi, dilengkapi dengan networking. Dengan networking ini, orang-orang dari berbagai penjuru dunia memiliki akses ke Kota Berkat di Atas Bukit tersebut. Networking tersebut adalah networking pikiran (intangible) dan networking fisik (tangible). Meskipun akses, transportasi, dan konektivitas ke Kota Berkat itu sulit, tetapi jiwanya terpaut ke Kota Berkat itu, maka ia sudah terhubung dengan Kota Berkat itu karena ia memiliki value. Menurut Pak Maruap, “Inilah yang hilang dari value orang Batak.” Sebagai contoh, katanya lagi, “Ketika kita berjumpa dengan ompung kita sewaktu kita masih kecil, pasti ompung kita kasih permen, misalnya, dia memeluk dan mencium kita. Padahal akses ke tempat ompung kita sangat sulit. Waktu kita sudah melihat ompung dari jauh, kita pasti melepas apa yang kita pegang saat itu dan berlari menjumpainya.”

Ronsen Pasaribu dalam menanggapi hasil jajak pendapat tersebut menyampaikan beberapa hal yang menjadi poin penting, antara lain: pertama, Menanggapi rencana pemerintah membentuk Badan Otorita Pariwisata Danau Toba dan sebutan “Monaco of Asia“, kita harus memperjelas istilah tersebut bahwa di KDT bukanlah kawasan di mana ada prostitusi, narkoba, dll. KDT itu adalah Kota Berkat di Atas Bukit. Karena itu, kawasan itu berbeda dengan Monaco atau kota-kota lain. Kedua, kita perlu definisikan dengan jelas apa itu Danau Toba? Danau Toba itu adalah danau dengan airnya yang bersih, bening, dan jernih. Bangunan yang berdiri di KDT itu seharusnya bukan bangunan yang modern. Ketiga, di KDT belum ada badan yang menangani bilamana terjadi kecelakaan, dan juga harus ada ketersediaan standar keamanan, misalnya adanya pelampung yang cukup untuk kapal-kapal yang melintasi Danau Toba. Keempat, YPDT adalah mitra pemerintah sebagai supporting system. Kelima, di KDT ini kita berhadapan antara kapitalisme dan tradisional. Keenam, pada generasi berikutnya, kita perlu menyampaikan kepada mereka bahwa pentingnya hak di atas hak milik. Dan ketujuh, menanggapi Kota Berkat di Atas Bukit, YPDT perlu membuat strategi dan program. Setelah dibuat, YPDT harus melakukan sosialisasi ke masyarakat di KDT. Selanjutnya perlu dicari bagaimana mengontrol atau mengawal itu semua agar dapat berjalan misi YPDT seturut visinya.
Parluhutan Manurung menanggapi diskusi ini dengan mengatakan bahwa nilai tanpa fisik adalah nothing (tidak ada apa-apanya). Dia mencontoh Menara Eiffel di Paris di mana di balik pembuatan menara tersebut ada kisah di baliknya. Begitu pula halnya dengan Danau Toba. Kita perlu menggali nilai yang terkandung dalam peristiwa terbentuknya danau tersebut akibat gempa vulkanik sekitar 74.000 tahun yang lalu. Kisah di balik Gunung Toba yang meletus inilah yang membawa nilai bagi Kawasan Danau Toba.
Victor Tobing menekankan bahwa yang terpenting untuk KDT ini adalah apa visinya? YPDT sudah menetapkan visinya adalah Kota Berkat di Atas Bukit. Tobing mempertanyakan: “Mau dikenang sebagai apa Danau Toba ini untuk 10, 50, atau 100 tahun ke depan? Karena itu, mind set visi YPDT harus mampu ditangkap masyarakat di KDT. Kalau belum mampu ditangkap, maka YPDT perlu melakukan sosialisasi kepada mereka.
Melalui pandangannya, Tobing menjelaskan bahwa visi itu intangible. Wujud visi ada di misi yang tangible. Kita seringkali gagal menjalankan misi karena kita tidak memperhatikan values. Kita harus merumuskan values dengan baik dan benar agar misi kita terwujud, sehingga visi yang intangible itu dapat menjadi tangible.
Tobing menyarankan agar YPDT perlu membuat cerita Danau Toba tersebut yang didasarkan pada peristiwa meletusnya Gunung Toba 74.000 tahun yang lalu. Cerita itulah yang membawa value bagi mereka yang membaca, mendengar, dan melihat Danau Toba.
Di akhir sesi pertama ini, para peserta sepakat akan membentuk tim yang akan bergerak membuat workshop ke tujuh (7) Kabupaten di Kawasan Danau Toba untuk mensosialisasikan visi “Kota Berkat di Atas Bukit” agar masyarakat di KDT memiliki pola pikir yang sama.
Tindak Lanjut FGD Menyelamatkan Rumah Batak (Save Batak’s House)
Pada sesi kedua, Diskusi Kamisan membahas tindak lanjut FGD (Focus Discussion Group) yang disampaikan Parluhutan Manurung dan Joyce Sitompul br. Manik. Dalam paparannya, Manurung menyampaikan hasil kunjungannya ke Jangga Dolok di mana Rumah Batak yang terbakar itu terjadi. Setelah berdiskusi dengan orang-orang yang dahulu mengurus Rumah Batak yang sudah ratusan tahunan itu, Manurung menyampaikan bahwa ada kemungkinan besar untuk membangun kembali rumah Batak tersebut di lokasi bekas terbakar. “Tinggal bagaimana mengordinasikannya saja dengan mereka,” pungkas Manurung.
Menanggapi informasi yang disampaikan Manurung, Ibu Joyce juga menyampaikan bahwa kita perlu segera membangun kembali Rumah Batak di lokasi terbakar itu di Jangga Dolok. Ibu Joyce mengatakan bahwa ia bersedia menyiapkan tim yang terdiri dari arsitek, seniman, budayawan, orang Batak setempat, dan relawan. Sejauh ini sudah ada beberapa pihak yang turut mendukung untuk membangun kembali kembali Rumah Batak di Jangga Dolok tersebut. (bts)