BULU SILAPE, DanauToba.org — Tuntutan dan gerakan #TUTUPTPL menguat kencang setelah insiden Natumingka. Arogansi TPL, yang melempari masyarakat adat yang mempertahankan tanah ulayatnya dengan batu di hadapan aparat kepolisian dinilai berlebihan dan menyakiti hati.
Sudah banyak kerusakan lingkungan/ekologis dan konflik sosial yang terjadi sejak beroperasinya Indorayon/Toba Pulp Lestari di Tano Batak. Pola penanggulangan perusahaan ini di masyarakat yang menentang selalu sama, mengadu domba dengan kelompok yang mendukung, melakukan intimidasi, dan kalau perlu kriminalisasi.
Akumulasi kemarahan pada TPL ini membuat teringat pada Desa Bulu Silape, korban bencana di awal beroperasinya Indorayon. Dusun Bulu Silape berada di Desa Pardomuan, Kecamatan Silaen, Kabupaten Toba (dulu masih Tapanuli Utara), Sumatera Utara. November 1989 areal perkambungan yang dihuni oleh mayoritas marga Sianipar ini dilanda bencana longsor (nama desa ini kabarnya belakangan berganti menjadi Sianipar I dan Sianipar II).
Tragedi bencana longsor ini berpangkal dari pembukaan jalan yang dilakukan Indorayon menuju hutan Simare, dengan mengeruk dinding bukit. Jalan tersebut dibuka agar bisa mengangkut kayu dari hutan Simare, untuk kemudian ditanami lagi dengan ekaliptus.
Masyarakat Bulu Silape mengajukan keberatan dan melarang pengerukan bukit dan pembukaan jalan tersebut, karena di beberapa tempat tanah galian longsor menutupi persawahan. Namun, dengan bantuan pemerintah Tapanuli Utara dan aparat keamanan membuat jalan tetap dibuka. Sawah yang kena longsor diselesaikan dengan ganti rugi panen dua kali dan biaya rehabilitasi.
Lalu, pada malam 25 November 1989, hujan turun dengan deras, dan tiba-tiba bukit yang bernama Dolok Tampean itu longsor. Enam rumah tertimbun, 13 orang tewas (1 tidak ditemukan), ternak-ternak babi/kerbau mati, dan 552 rante (55 hektar) sawah dan kebun amblas tertimbun tanah longsor. Tangis memenuhi desa itu.
Namun para pejabat seperti menutup mata. Bupati Tapanuli Utara ketika itu Lundu Panjaitan (kini jadi Komisaris Independen TPL) mengunjungi lokasi, tetapi komentarnya menyebut kejadian itu sebagai bencana alam. Mereka hanya diberi sumbangan/bantuan “sipalas roha” layaknya korban bencana alam.
Banyak rumah, termasuk rumah tradisional adat Batak yang ditinggalkan oleh para penghuninya karena trauma. Sempat ada perundingan-perundingan ganti rugi. Tapi penghuni desa itu malah terpecah-belah, berbeda pendapat soal bentuk ganti rugi. Agaknya mereka diadu-domba. Sempat terdengar kabar ada sebagian yang dipindahkan ke perkebunan sawit di Asahan. Tapi ternyata kebun sawit itu tidak berkualitas. Intinya, Indorayon selamat dari tanggung jawab.
Tahun 2009, 20 tahun setelah kejadian, kembali muncul gugatan kejelasan ganti rugi bencana ini. Seorang aktivis pecinta lingkungan, Robert Manurung dari TobaLovers, Jakarta, mengunjungi desa itu, ingin mengetahui kejelasan nasib korban bencana dan menulis kembali kisah itu. Ia menulis dan memuat foto di status facebooknya.
Saya tidak tahu bagaimana kelanjutan penulisan Robert Manurung, karena sekitar setahun lebih kemudian ia berpulang di Jakarta. Saya juga tidak tahu bagaimana kelanjutan tuntutan ganti rugi tersebut dan keadaan Bulu Silape sekarang. Tapi foto sudut desa Bulu Silape yang tersimpan dalam file komputer membuat bencana itu tetap terekam dalam ingatan.
Foto: Salah satu sudut desa Bulu Silape (Foto: Istimewa)
Penulis: Nestor Rico Tambun