JAKARTA, DanauToba.org ─ Sebagaimana yang diberitakan beberapa media mainstream, terutama media online, menyampaikan bahwa pada Senin (15/6/2020) Gubernur Sumatera Utara (Gubsu) Edy Rahmayadi mengumpulkan para pengusaha Sumut mau meringankan beban Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), sehingga usaha mereka tetap bisa berjalan.
Menanggapi hal tersebut, berbagai ormas (organisasi masyarakat) dan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) mempertanyakan dan menyampaikan kritik kepada orang nomor satu di Sumut tersebut.
Pasalnya, Sang Gubsu mengundang 10 perusahaan yang notabene setengah di antaranya adalah perusahaan besar yang berandil besar merusak Kawasan Danau Toba (KDT), terutama perairan Danau Toba, tanah, dan kawasan hutannya.
Publik dan masyarakat dunia sudah mengetahui bahwa perusahaan besar tersebut adalah perusak lingkungan hidup di KDT. Sebut saja di antaranya PT Aquafarm Nusantara berganti nama menjadi Regals Spring Indonesia sebagai pencemar air Danau Toba, PT Toba Pulp Lestari (TPL) sebagai perusak kawasan hutan dan tanah, PT Inalum sebagai perusak ekosistem lingkungan hidup Danau Toba, PT Suri Tani Pemuka sebagai pencemar air Danau Toba (sudah kalah di Pengadilan Tata Usaha Negara, Medan, yang digugat YPDT pada 2017), dan PT Allegrindo Nesantara sebagai pencemar air Danau Toba yang membuang kotoran babi ke Danau Toba.
Lima perusahaan yang disebutkan di atas rekam jejaknya (track record) sangat buruk dan menyengsarakan masyarakat KDT. Bagaimana mungkin kelima perusahaan tersebut beritikad baik menolong sekitar 6.000 UMKM yang disebutkan Gubsu? Kita hanya dapat menduga ada apa di balik semuanya ini.
Mari kita dengarkan apa pandangan beberapa ormas dan LSM yang sempat dikonfirmasi berikut ini.
Maruap Siahaan, Ketua Umum Yayasan Pencinta Danau Toba (YPDT) mengatakan: “Penanganan Covid-19 bersama perusak lingkungan hidup adalah bentuk kecerobohan Gubernur mencari solusi dan melegitimasi perusahaan yang nyata-nyata merusak lingkungan hidup dan mengeksploitasi tanah Batak seolah-olah menjadi hero (pahlawan). Ini perbuatan dan kebijakan sangat tidak terpuji. YPDT sangat menyesalkan pendekatan Gubernur membangun KDT dan mencari solusi cara membangun ekonomi UMKM. Sama sekali tidak memiliki terobosan dan kreativitas.”
Delima Silalahi sebagai Ketua KSPPM (Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat) menyampaikan tiga hal:
Pertama, tindakan mengundang perusahaan-perusahaan yang berkontribusi melakukan kerusakan ekologi dan pelaku pelanggaran HAM di Kawasan Danau Toba untuk membantu UMKM yang terdampak akibat pandemik Covid-19 menegaskan ketidakberpihakannya terhadap penyelesaian berbagai kasus kerusakan lingkungan dan konflik agraria di Danau Toba. Termasuk ketidakseriusannya membangun sektor pariwisata di Danau Toba.
Kedua, benar bahwa akibat pandemik Covid-19, banyak sektor yang terjepit, termasuk UMKM. Namun hal tersebut menjadi tanggung jawab negara untuk memenuhi kesejahteraan rakyatnya melalui kebijakan-kebijakan pembangunan yang lebih tepat sasaran dan kreatif. Bukan melepaskan tanggungjawabnya ke swasta, yang notabene juga adalah perusahaan-perusahaan yang bermasalah. Apalagi meminta bantuan untuk meringankan beban UMKM. Di masa pandemik ini harusnya pemerintah justru mengawasi perusahaan-perusahaan tersebut apakah benar-benar meringankan beban karyawan dan buruhnya melalui pemberian hak atas upah yang layak, hak atas kesehatan dan hak–hak dasar lainnya. Bukan menjadi peminta-minta dan menganggap para perusahaan itu seperti pahlawan bagi kebangkitan UMKM.
Ketiga, Gubernur dan jajarannya, termasuk para bupati sudah saatnya berhenti mengandalkan bantuan-bantuan perusahaan-perusahaan bermasalah tersebut. Saatnya sekarang menghidupkan kembali modal sosial yang pernah ada di tengah-tengah masyarakat serta membangun solidaritas sosial. Untuk ini memang perlu pemimpin yang kreatif dan mau kerja keras. Bukan yang mati gaya mengandalkan bantuan perusahaan bermasalah.
Ketua Umum PERTARA (Peduli Rakyat Nusantara) Ralwin R.L. menyatakan bahwa ada udang di balik batu. ”Pemda belum berbuat banyak untuk UMKM, tetapi sudah coba gandeng perusahaan yang erat hubungannya dengan kerusakan lingkungan Danau Toba untuk membantu UMKM yang terdampak Covid-19. Mengapa yang diundang mereka? Mengapa bukan perusahaan yang kredibilitasnya adalah baik yang diundang? Apapun tujuan pertemuan tersebut, bukan berarti mereka diberi kesempatan untuk berusaha dan berinvestasi di sekitar Danau Toba jika usaha mereka tersebut merusak dan berdampak negatif terhadap Danau Toba dan masyarakat,” tandasnya.
Mangaliat Simarmata sebagai Ketua Jendela Toba yang peduli terhadap KDT selama ini, sangat menyayangkan sikap dari Gubsu yang meminta bantuan meringankan beban UMKM di KDT karena Covid19 dari perusahaan-perusahaan yang selama ini telah sangat jelas berandil kuat merusak ekosistem KDT seperti TPL yang sangat massif terus merusak hutan penyangga KDT, Regals Spring Indonesia dan PT. Suri Tani Pemuka sebagai pencemar air Danau Toba (sudah banyak berbagai penelitian yang membuktikan itu).
Sementara itu, Presiden RI Joko Widodo dan Menko Maritim Luhut Panjaitan sudah beberapa kali datang kunjungan kerja ke KDT dan sudah sangat jelas menyatakan akan meninjau ulang keberadaaan perusahaan-perusahaan tersebut di KDT dalam mewujudkan KDT destinasi pariwisata Internasional-Bali Kedua. Pernyataan Presiden dan Menko ini sudah berapa kali diberitakan berbagai media. Jadi bagaimana kita memahami sikap Gubsu seperti itu yang terkesan kompromi dengan perusahaan-perusahan perusak ekosistem KDT. Oleh karena itu, kami meminta kepada Gubsu agar mengurungkan niatnya tersebut. Kami sangat mengapresi niat baik Gubsu tersebut untuk membantu meringankan beban UMKM di KDT, akan tetapi dari perusahaan-perusahan yang ramah lingkunganlah terutama buat perusahaan-perusahaan yang ada di Sumut. Saatnya kita melakukan edukasi dan advokasi terhadap masyarakat bagaimana memanfaatkan dan menjaga Danau Toba secara lestari dan berkelanjutan,” ungkapnya.
Ronsen Pasaribu selaku Ketua Umum Forum Bangso Batak Indonesia (FBBI) berpendapat bahwa niat baik Gubsu bolehlah kita apresiasi, tetapi ia bertanya dari mana dana bantuan tersebut diambil. Apakah dari CSR perusahaan-perusahaan tersebut atau dari dana yang tidak dibagi perusahaan yang dipakai untuk pengembangan dan lain-lain? Kalau dari CSR, tentu ini hal biasa karena memang sudah menjadi kewajiban perusahan sebagai tanggung jawabnya kepada masyarakat. Kalau dari diambil dana tidak dibagi, maka ini menarik.
Terkait dugaan ada perusahaan-perusahaan merusak lingkungan, maka FBBI menyatakan bahwa proses hukum menindak perusahaan tersebut tetap dilakukan. Pemda harus tegas akan hal ini.
“FBBI sebenarnya lebih concern (peduli) pada pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan perekonomian masyarakat. Sebagai contoh, FBBI mengusulkan pemberdayaan petani/nelayan di KDT dengan pengembangan budidaya ikan di darat. Hal ini dapat mendorong UMKM juga mengembangkan bisnisnya ke arah sana. Budidaya ikan di darat selain tidak merusak air Danau Toba, juga dapat meningkatkan perekonomian masyarakat di KDT,” lanjut Ronsen Pasaribu yang pernah membidangi Pemberdayaan Masyarakat di Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Terakhir, Ketua Umum BATAK CENTER, S.M. Tampubolon, memberi saran bahwa apa yang diupayakan Gubsu menyelamatkan usaha 6.000 UMKM di Sumut patut kita apresiasi, tetapi bagi perusahaan-perusahaan yang jelas merusak lingkungan, mereka tetap bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan tersebut dan niat mereka membantu UMKM tidak berarti mereka bebas dari tanggung jawab tersebut.
Pewarta: Boy Tonggor Siahaan