JAKARTA, DanauToba.org — Beberapa waktu yang lalu, seorang teman FB, boru Batak yang lahir, besar, dan menikah di tanah rantau, bertanya padaku: “Memang seperti apa kerusakan Danau Toba yang diakibatkan oleh TPL itu inanguda? Sampai bagaimana parahnya? Saya belum pernah ke Danau Toba, jadi saya tidak tau. Katanya sangat indah ya Inanguda…” Setelah membacanya, saya meminta waktu padanya untuk menjawab, karena jawabannya akan sangat panjang.
Orang Batak yang lahir di 8 kabupaten pesisir Danau Toba, pasti tau persis seperti apa perubahan danau Toba sejak TPL (dulunya Indorayon) berdiri di tano Batak. Jadi bila ada orang batak yang lahir dan besar di kampung, mengatakan apanya yg dirusak TPL, pastilah dia buta. Buta hati. Saya yang lahir di Siborongborong, masuk SD di Jakarta Selatan, kembali lagi ke kampung saat kelas 2 SD dan pindah lagi ke Jakarta kelas 3 SMP, mengingat dengan jelas perubahan yang terjadi di tano Batak. Padahal saya hanya tinggal di kampung kurang lebih 6 tahun.
Kepunahan
Kampung saya berada sekitar 4 Km dari tombak harangan (hutan belantara) Sijaba. Saat kecil, saya ingat betul, kalau orang pergi martombak untuk mengambil keperluan membangun rumah; kayu besar untuk tiang dan papan, basbason sebagai atap dan rotan untuk pengikat, mereka harus membawa banyak bekal. Mereka bisa berhari-hari di hutan dan harus berkelompok, minimal 5 orang dewasa, anak-anak tidak diijinkan ikut. Mengapa? Karena hutan itu masih sangat berbahaya, susah ditembus dan banyak binatang buas. Babiat dan gompul adalah yang paling ditakuti, meski di hutan banyak satwa, termasuk kancil, monyet, dan berbagai jenis binatang pengerat, bermacam ular, dan burung.
Selain habitat bagi ribuan jenis fauna, ribuan flora tumbuh di sana. Mulai dari pohon-pohon tinggi (hau na bolon) sekelas kayu besi, hau anak (kayu anakan), ramba (perdu) dan berbagai tanaman epifit dan tanaman lainnya yang mungkin saja bersifat endemik dan tidak tumbuh di daerah lain.
Saat saya mulai agak besar. Saya mulai minta ikut marsoban tu tombak, dan saya begitu terhipnotis oleh tumbuhan dan anggrek-anggrek hutan yang cantik. Pernah kami menemukan pohon besar yang tinggi, batang dan dahan besarnya hampir semua ditumbuhi anggrek.
Tombak Sijaba akhirnya hilang beserta isinya saat hutan itu dibabat oleh Indorayon. Mungkin sekitar saya SMP. Bukan hanya pohonnya yang diambil itu yang hilang, flora dan fauna di dalamnya juga punah. Takkan ada lagi gompul dan babiat di Sijaba. Seperti tombak Sijaba inilah nasib ratusan ribu hektar hutan di wilayah Sumut, terutama di pesisir Danau Toba. Punah! Semua tak bisa lagi ditanam, diciptakan atau dibeli seberapa banyak pun uang yabg dimiliki.
Kekeringan dan Kelaparan
Setelah hutan hilang, apa dampak buruk lainnya? Kekeringan yang berujung pada kelaparan segera melanda. Tak ada lagi hutan yang menyimpan air saat musim penghujan dan mengalirkan air dengan perlahan saat musim kemarau. Sungai-sungai dan air terjun mulai mengering. Hanya sesaat setelah hutan-hutan itu ditebang, kemarau panjang yang disusul haleon segera tiba.
Saya mengingat pernah antri mengambil air di sebuah pansur di lereng bukit yang terjal karena sumur-sumur menjadi kering. Sawah-sawah yang baru ditanami, mati karena tak diairi. Akhirnya, semua sawah tadah hujan, beralih fungsi menjadi perladangan. Sawah hanya ada di ngarai yang cukup air. Akibatnya, warga hanya bisa menanam padi di wilayah terbatas, hasilnya pun sangat terbatas.
Hasil sawah, hanya bertahan 3-4 bulan setelah panen. Sisa bulan berikutnya harus membeli beras. Sementara ladang pun tak bisa diolah dengan tumbuhan palawija bila air di tali air mengering. Banyak ladang akhirnya tak menghasilkan. Bila di kampung saya di wilayah Humbang berdataran tinggi areal persawahan jadi berkurang. Di daerah Toba Uluan (Muara, Balige, Porsea), sebagian wilayah Samosir dan Silindung dulunya bisa bertanam padi dua kali dalam setahun. Beberapa wilayah hanya bisa bertanam padi sekali dalam setahun. Hutan hilang, kekeringan melanda dan kemiskinan pun mendera. Sudah paham kan, mata rantainya?
Bencana
Hutan menjadi gundul, kemudian mendatangkan bencana. Hutan gundul di perbukitan, tak ada lagi yang menahan air. Saat debit air hujan tinggi, akan rentan longsor dan banjir bandang siap menerjang, seperti yang beberapa kali terjadi di Samosir dan sudah sering diceritakan oleh Amangboru Suhunan Situmorang. Kejadian paling baru, wilayah Parapat juga diterjang banjir bandang beberapa bulan lalu. Bahkan Tulang Nestor Rico Tambun beberapa waktu lalu menuliskan. Satu kampung di Porsea pernah diterjang longsor yang memakan banyak korban jiwa dan kampung itu pun harus ditinggalkan.
Konflik Sosial
Setelah hutan-hutan itu dibabat habis, penebangan mulai menyasar tanah ulayat (hutan adat) masing-masing kampung. Saya masih ingat, saat saya kelas 1 SMA, sepucuk surat datang dari kampung yang mengatakan bahwa porlak kami yang bernama Buluserngen di tepi tombak Sijaba, telah diambil alih pemerintah dengan ganti rugi seadanya. Entah bagaimana prosesnya, pokoknya porlak kami di tepian sungai jernih yang banyak gurampang itu sudah disetujui oleh keluarga yang di kampung untuk diambil alih.
Mamak dan bapak hanya bisa pasrah. Tetapi tentu saja, di kampung lain banyak yang tak mau pasrah dan menunjukkan perlawanan terhadap pengambilalihan secara paksa, sehingga beberapa kali terjadi bentrok fisik dengan pihak TPL seperti yang beberapa kali ditulis oleh tulang Nestor.
Kerusakan Danau Toba
Surut atau berkurangnya debit air Danau Toba serta mengeringnya banyak air terjun menurutku hanyalah ‘puncak gunung es’ akibat beroperasinya TPL. Sebab danau itu sungguh besar dan langsung terlihat saat airnya surut. Justru kepunahan dan kemiskinan yang disebabkan pembabatan hutan itu, tak disadari banyak orang, terutama kita Batak.
Sebagai penutup, tadi kubaca status Tulang Sebastian Hutabarat yang mempertanyakan: Siapa yang memberi ijin beroperasinya Indorayon pada awalnya? Ya tentu saja pejabat daerah, Gubernur Sumut tahun 1984, orang Batak juga, Kaharudin Nasution. Selain Gubsu, para bupati (orang Batak juga kan ya) juga turut andil memberi rekomendasi. Ijin operasional dan penambahan lahan HPH tak akan bisa berjalan tanpa rekomendasi dari bupati di wilayah masing-masing. UU mengatakan demikian. UU juga mengatakan, bahwa DPRD punya wewenang untuk membuat Perda untuk melindungi tanah adat, tetapi DPRD tak melakukan itu. Jadi, taipan pemilik TPL memang yang mempunyai ide kapitalis untuk membabat hutan di Sumut, tetapi orang Batak juga yang membukakan ‘gerbang’ untuk mereka. Begitulah kenyataannya.
Tadi saya baca, Presiden Joko Widodo mengatakan pada Ito Togu Simorangkir yang telah berjuang bersama TIM 11 selama 55 hari ini, sulit menutup TPL. Sulit bukan berarti tak bisa. Kecuali kita orang Batak, khususnya yang tinggal di wilayah Sumut yang merasakan dampak kerusakan akibat TPL.Siap sedia merasakan penderitaan berkepanjangan akibat operasional TPL ini. Penderitaan yang entah kapan berakhirnya!
Selamat sore kawan, salam sehat, salam waras.
Feel free to share
#TutupTPL
#PanjangUmurPerlawanan
#PanjangUmurPerjuangan