BAKARA, DanauToba.org ― Nasrul Hamdani Harahap (BPNB Aceh) menyatakan bahwa Bakara sebagai pusat kebudayaan Batak. Ini disampaikannya dalam suatu Seminar Budaya yang diselenggarakan Yayasan Pencinta Danau Toba (YPDT) pada Selasa (18/12/2018) di Bakara, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara.
Apakah alasan utama bahwa Bakara sebagai pusat kebudayaan Batak? Jika dilihat dari potensi Bakara, banyak peninggalan-peninggalan yang ada di Bakara maupun Tipang, misalnya banyak losung dan kubur batu (sarkofagus), tetapi belum digarap. Demikian pula halnya ritual. Ada ritual yang masih berjalan, yaitu: Batu Siungkap-ungkapan di Tipang. “Hal-hal seperti ini perlu kita gali bersama antara pemerintah (pemkab) dan masyarakat,” ujar Naibaho.
YPDT menyadari bahwa kebudayaan merupakan pengetahuan yang diwariskan oleh nenek moyang kepada generasi selanjutnya. Pengetahuan-pengetahuan ini seringkali diabaikan bahkan dilupakan dengan hadirnya pengetahuan-pengetahuan asing yang juga membonceng kebudayaan asing. Oleh karena itu, kesadaran untuk menggali kembali nilai-nilai kearifan lokal merupakan sesuatu hal yang mendesak perlu dilakukan segera.
Melalui rangkaian kegiatan Gerakan Cinta Danau Toba (GCDT) IV, YPDT ingin mengangkat Baktiraja sebagai icon budaya Batak dengan peninggalan Sisimangaraja XII dalam tema: Pemajuan dan Pelestarian Warisan Budaya maupun Peninggalan Raja Sisingamangaraja XII di Kawasan Danau Toba.
Pemilihan tempat di Bakara menjadi menarik dan tidak terlepas dari keberadaan Tokoh Pahlawan Nasional, yaitu: Sisingamangaraja XII sebagai simbol perjuangan sekaligus simbol keteladanan bagi masyarakat Batak, khususnya generasi muda. YPDT melihat keteladanan melalui sosok kepahlawanan Sisingamangaraja XII sangat relevan dan dapat dijadikan sebagai salah satu referensi dalam pembangunan Kawasan Danau Toba.
[Slideshow "seminar-budaya-2018-12-18" not found]
Peristiwa perang di masa lalu meninggalkan banyak legacy baik yang bersifat warisan budaya bendawi seperti benda, bangunan, situs maupun warisan budaya non bendawi berupa nilai-nilai yang melekat pada sosok pahlawan tersebut yang patut diteladani. Sebagai bentuk penghargaan, warisan budaya baik bendawi maupun non bendawi yang merupakan peninggalannya sudah sepantasnya dilestarikan oleh generasi saat ini dan juga meneladani nilai-nilai kepahlawanannya.
“Kalau kita berbicara kebudayaan maka kita berbicara diri sendiri,” kata Nasrul Hamdani Harahap. Mengutip Kongres Kebudayaan di Yogya pada 1948, Harahap menyatakan bahwa kami adalah ahli waris budaya dunia. Di dalam diri kita mengalir darah India, Tiongkok, dan lain-lain. Karena itu, satu-satunya kekayaan kita adalah kebudayaan dan harus ada pemajuan kebudayaan di mana kita memiliki UU Pemajuan Kebudayaan 5/2017.
Selama ini kebudayaan hanya sebagai pelengkap. Kelihatan di luar, tetapi di dalamnya tidak. Kebudayaan melahirkan produk nilai luhur. Oleh karena itu kebudayaan harus kita majukan terlebih dahulu. Globalisasi bagi orang kebudayaan dianggap sebagai tantangan dan peluang, tetapi bidang lain menganggap sebagai ancaman.
“Kita sendiri sebagai orang Batak,” lanjut Harahap, “mewariskan kebudayaan melalui tutur dan marga yang sudah pada diri kita.” Ada suatu asas kebudayaan, yaitu: gotong-royong (kerjasama), keberagaman (identitas tidak tunggal) dengan mengembangkan sikap toleransi, dan keberagaman budaya, misalnya marga.
Dalam kehidupan praktis, kebudayaan dapat diterapkan melalui sikap melayani dan sikap hidup. Orang Batak sebenarnya bukan tidak bisa melayani, tetapi apakah ada kemauan untuk melayani?
Menurut Harahap, BPNB memiliki 3 program di bidang Kebudayaan, antara lain:
- Fasilitasi atau Bansos Sanggar seni untuk memiliki properti sendiri.
- Revitalisasi desa adat. Tipang pernah mengajukan tapi belum berhasil. Jangga Dolok berhasil, tetapi ada peristiwa kebakaran.
- Bantuan kesenian untuk sekolah.
Naibaho (mewakili Kepala Dinas Pariwisata Humbang Hasundutan) menambahkan bahwa dalam pemajuan kebudayaan, kita memiliki prinsip yang dikembangkan Dinas Pariwisata Humbahas, yaitu: menggali, melestarikan, dan memberdayakan.
Mengapa hal tersebut perlu dilakukan? Karena kebudayaan yang ada sekarang ini sudah mulai terkikis dengan modernitas. Salah satu contoh yang disampaikan Naibaho terkait nilai kebudayaan yang terkikis, misalnya paramak so balunon (sikap orang Batak yang sangat ramah menerima tamu). Ini sudah terkikis dan bahkan bisa hilang serta menjadi tugas kita bersama: pemerintah/pemda, gereja, dan masyarakat.
Kebudayaan itu sendiri dapat dikaitkan dengan pariwisata dengan melakukan atraksi budaya untuk menjadi daya tarik kunjungan destinasi wisata. Atraksi budaya sudah mulai tertutup. Olahraga tradisional sudah mulai banyak hilang. Misalnya Marhonong, Mangungkor, marjalengkat. Sekarang sudah tidak ada lagi karena sudah terpengaruh modernisasi.
Naibaho berharap akan ada wadah kepariwisataan dan rencana konsolidasi dan sertifikasi cagar budaya, revitalisasi situs Sisingamangaraja di Parlilitan, dan revitalisasi lapangan parkir dan pagar istana raja Sisingamangaraja
Andhy Marpaung (Kepala Sub Bidang Pengembangan Destinasi Area I – Asisten Deputi Pengembangan Destinasi Regional I Deputi Bidang Pengembangan Destinasi Pariwisata dari Kementerian Pariwisata RI) menyebutkan bahwa pariwisata sebagai penghasil devisa terbesar saat ini mengimbangi minyak bumi dan kelapa sawit. Target kita di Sumut adalah 1 juta wisman.
“Istana Sisingamangaraja menjadi icon utama destinasi pariwisata dan setelahnya kita bisa mengenalkan potensi lainnya. Wisatawan asing biasanya ingin berinteraksi dengan masyarakat setempat dan menggali pengetahuan serta belajar kebudayaan masyarakat setempat,” jelas Marpaung.
Wisatawan yang berkunjung ke Kawasan Danau Toba tentu menginginkan adanya suatu kenangan yang tidak dapat mereka lupakan. Karena itu, cerita sejarah dan kebudayaan, serta atraksi budaya menjadi daya tarik tersendiri bagi mereka.
Kita sebenarnya memiliki banyak potensi destinasi wisata, tetapi tidak tergarap. Padahal ini semua menjadi sumber perekonomian bagi masyarakat. Sebut saja atraksi wisata yang kreatif dan menarik seperti arum jeram, fun rafting, dan homestay.
Kementerian Pariwisata pun sudah mendorong pembentukan desa wisata di Sinambela, Desa Simamora, Desa Tipang, dan lain-lain. Setelah terbentuk potensi pariwisata dan kebudayaan tersebut, kita dapat menviralkannya melalui media sosial, ungkap Marpaung.
(Humas YPDT)