JAKARTA, DanauToba.org — Bahasa Batak akan punah dalam tiga generasi mendatang? Mungkinkah? Kemungkinan besar demikian. Sejauh ini menurut Saut Poltak Tambunan: “Penutur Bahasa Batak makin berkurang setiap tahunnya.”
Sekitar 2 juta dari 8,5 juta orang yang masih aktif berbahasa Batak. Setiap tahun makin berkurang jumlahnya. Kalau dibiarkan, maka pada masa tertentu Bahasa Batak akan punah.
Ada kegelisahan generasi tua dan generasi masa kini dengan makin berkurangnya penutur Bahasa Batak.
Kegelisahan tersebutlah yang mendorong mereka mengangkat topik Diskusi “Palumehon Hata Batak: Menggugat Tanggung Jawab Pewarisan Bahasa Batak.” Topik diskusi tersebut diselenggarakan oleh Yayasan Pencinta Danau Toba (YPDT) dalam kegiatan rutinnya Diskusi Kamisan pada Kamis (8/6/2017) di Sekretariat YPDT, Jakarta.
Diskusi Kamisan tersebut dipandu oleh Jerry R. H. Sirait (Pengawas YPDT) dengan menghadirkan pemantik diskusi, yaitu: Saut Poltak Tambunan (Wakil Ketua Departemen Budaya, Nilai Adat, dan Habatakon YPDT).
Di awal Diskusi Kamisan ini, Tambunan yang juga dikenal sebagai sastrawan Batak ini menyampaikan paparan singkatnya untuk memantik diskusi.
“Bagaimana Bahasa Batak ke depan?” tanya Tambunan mengawali diskusi. Bahasa Batak ke depan berada pada situasi kritis jika tidak ada palumehon.
Palumehon artinya mewariskan, tetapi lebih dalam lagi dapat diartikan menitipkan untuk dipelihara dan dijaga, lalu diwariskan.
“Kalau tidak dilakukan palumehon Bahasa Batak, maka mate ponggol ma hata Batak (mate ponggol dalam artian tarombo atau silsilah marga adalah orang Batak yang meninggal tanpa anak laki-laki sebagai pewaris marga),“ tegas sastrawan Batak ini.
Apa persoalan Bahasa Batak “mate ponggol”? Paling sedikit ada dua alasan.
Pertama, orang-orang Batak yang terserak keluar dari kampung halamannya (bonapasogit) banyak yang tidak palumehon hata Batak kepada generasi berikutnya (anak-anak dan cucu-cucunya). Faktor kawin campur menjadi salah satu penyebab yang signifikan.
Kedua, Pada masa kini orang-orang Batak di bonapasogit pun tidak tegas mewajibkan anak-anak dan cucu-cucunya mempergunakan bahasa ibunya (Bahasa Batak) sebagai bahasa utama dalam berkomunikasi.
Anak-anak dan kaum muda Batak cenderung menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa utama dalam berkomunikasi.
“Tahun 1990, sudah 75% tersisa bahasa ibu. Hanya 3 generasi maka Bahasa Batak akan punah, kalau kondisinya seperti ini terus-menerus,” ungkap Tambunan yang sedikitnya sudah menerbitkan 60-70 karya sastra berbahasa Batak.
Orang banyak mengatakan bahwa tidak mudah menerjemahkan Bahasa Batak ke Bahasa Indonesia. Tahun 2012, Saut Poltak Tambunan telah menulis Novel untuk anak-anak dwi bahasa (Bahasa Batak dan Bahasa Indonesia) dengan judul “Mandera na Metmet” (“Bendera Kecil”).
“Saya memerlukan 18.818 kata dalam 116.250 karakter termasuk spasi untuk Bahasa Bataknya, sedangkan untuk Bahasa Indonesianya hanya memerlukan 14.411 kata dalam 99.938 karakter,” singkap Tambunan.
Kita mengenal tiga kategori (rangsa) dalam Bahasa Batak, yaitu: (1) rangsa ni hata siganup ari (bahasa percakapan sehari-hari), (2) rangsa ni andung (bahasa dalam syair-syair ratapan), dan (3) rangsa ni hadatuon (bahasa dalam mantera, ilmu perdukunan, pengobatan, dan nujum).
Banyak orang merasa malu menunjukkan identitas primordialnya. Menurut mereka bahwa bahasa daerah itu anakronis, ketinggalan zaman, dan tidak ada manfaatnya untuk meraih masa depan.
Pembiaran (permissiveness) dalam kesalahan berbahasa Batak pun berlangsung masif. Tidak ada pihak yang merasa perlu dan berkepentingan terlebih berkewajiban untuk memperbaikinya.
Dalam situasi sekarang ini, makin ironis. Anak-anak muda masa kini berlomba-lomba agar tidak kelihatan kebatakannya.
Banyak gaya yang mereka buat-buat. Orang Batak pun makin enggan menunjukkan nama Bataknya dan kalau punya anak tidak akan diberi nama Batak. Padahal ini juga turut berkontribusi menghilangkan bahasa Batak.
Demikian juga literasi dalam bidang teknologi, setiap petunjuk menggunakan bahasa asing, sehingga berkontribusi menggerus Bahasa Batak.
Misalnya kalau kita akan memasak beras, kita menggunakan rice cooker. Padahal dalam bahasa Bataknya bisa saja kita mengatakan: mangalompa boras ni hudon listrik i (memasak beras di pemasak listrik).
Dari sisi kelembagaan pun, baik pemerintah (pusat dan daerah), kumpulan (punguan) marga/bonapasogit, sekolah, maupun gereja, masih kurang dukungan.
Pelajaran Bahasa Batak pun nyaris hilang di sekolah-sekolah. Di tingkat SD, anak-anak dapat belajar bahasa dan aksara Batak. Di tingkat SMP dan SMA dapat ditingkatkan pada literasi dan sastra Batak.
Gereja-gereja bernuansa kesukuan Batak pun makin mengurangi Bahasa Batak sebagai bahasa pengantar komunikasi.
Kebaktian anak, remaja, dan pemuda pun nyaris tidak kita temukan lagi menggunakan Bahasa Batak di Gereja-gereja bernuansa kesukuan Batak.
Jadi kerusakan budaya dimulai dari asalnya. Kerusakan Bahasa Batak pun dimulai dari asalnya. Kitalah, orang Batak, yang memulai hal tersebut. Kita perlu introspeksi diri.
Panusunan Simanjuntak mengatakan bahwa Bahasa Batak itu sangat berharga karena itu sangat dibutuhkan usaha-usaha untuk mempraktekkan Bahasa Batak dalam setiap aspek kehidupan orang-orang Batak.
Djamidin Manurung mengusulkan agar YPDT mendorong Pemda di Kawasan Danau Toba (KDT) membuat kurikulum Bahasa dan Aksara Batak sebagai muatan lokal untuk sekolah-sekolah di sana.
Mardi F.N. Sinaga (Ketua Departemen Pariwisata dan Ekonomi Kreatif YPDT) memperkirakan bahwa Bahasa Batak sebentar lagi punah. Mengapa?
Pertama, gambarannya saat ini di Indonesia sekitar 350 juta orang menggunakan handphone (telepon seluler) yang notabene menggunakan bahasa Inggris. Tidak ada Bahasa Batak di sana.
Kedua, Kalau kita mencari informasi di Google, misalnya mencari Danau Toba, kita biasanya mengetikkan “Danau Toba” bukan “Tao Toba”. Ini tantangan teknologi yang berat.
Sebagaimana kita ketahui, pada mesin pencari Google sudah tersedia Bahasa Jawa (Basa Jawa) dan Bahasa Bali (Basa Bali). Kapan Bahasa Batak tersedia di mesin pencari Google? Ini menjadi tantangan tersendiri bagi orang Batak.
Karena itulah, Sinaga menegaskan bahwa dorongan teknologi tidak bisa disikapi oleh kecanggihannya. Mengapa? Kalau kita berbicara kecanggihan, maka kita akan dikontrol oleh teknologi. Semua bahasa akan hilang kalau teknologi yang mengontrol, tetapi sebaliknya kitalah yang mengontrol teknologi.
Joyce Sitompul br Manik sebagai perempuan Batak juga angkat bicara. Ia sendiri mengakui baru muncul kesadaran melestarikan kebatakan (habatakon) saat ia sudah berusia 50-an.
Selama ini cukup lama ia tinggal di AS dan orangtuanya tidak mentransfer pengetahuan Bahasa Batak kepadanya.
Kesadarannya pada habatakon muncul karena kesenangan ompungnya menyanyikan lagu-lagu Batak tempo dulu.
Hal itulah yang mendorong perempuan Batak yang anggun ini mengambil kursus Bahasa Batak di HKBP Menteng, Jalan Jambu, Jakarta, beberapa tahun yang lalu.
Bahkan ia sendiri beribadah di HKBP Menteng sampai dua kali, yaitu: Kebaktian Minggu berbahasa Batak dan Kebaktian Minggu berbahasa Indonesia.
“Perjuangan itu perlu bagi orang-orang yang ingin melestarikan Bahasa Batak. Bahasa Batak itulah Jati diri kita,” ujar Joyce. Perempuan Batak lulusan Teknik Arsitektur Universitas Indonesia ini dikenal sebagai orang yang senang berkolaborasi dengan kreativitasnya mengombinasikan ulos Batak dan disain pakaian masa kini.
Bahkan saat ini ia sedang mengembangkan batik (gorga) Batak. Selain itu, bersama YPDT , Yayasan Tirto Utomo, dan keluarga besar Manurung (pemilik Rumah Batak yang sudah ratusan tahun usianya), Joyce berkontribusi merestorasi Rumah Batak di Jangga Dolok yang terbakar pada Tahun Baru lalu (1/1/2016).
“Ini semua karena kecintaan dan kebanggaan saya sebagai boru Batak,” ungkap Joyce dengan mata berkaca-kaca.
Ronsen Pasaribu (Ketua Umum Forum Bangso Batak Indonesia) mengatakan bahwa Diskusi Kamisan ini menarik dan topiknya pun relevan.
Ada dua hal dalam topik yang diangkat dalam diskusi ini. Pertama, berbicara tentang Bahasa Batak tidak dapat dilepaskan dari induknya Habatakon. Ada tiga (3) unsur dalam habatakon, yaitu: tanah, manusia, dan semacam ketentuan hukum (dalihan na tolu).
Kedua, terkait topik menggugat tanggung jawab pewarisan Bahasa Batak, ini berarti ada kekhawatiran. Kekhawatiran bahwa pewarisan para penutur Bahasa Batak kepada generasi berikutnya terasa mengalami degradasi yang terus-menerus setiap waktu.
“Padahal sebenarnya Batak merupakan salah satu budaya tinggi karena kita memiliki aksara. Karena itu, jangan malu berbahasa Batak. Dalam konteks Pancasila, kalau orang Batak kuat, maka Indonesia akan kuat. Jadi banggalah aku Indonesia, aku Pancasila, aku Batak” tutur Ronsen Pasaribu yang juga tergabung dalam Kelompok Kerja Ahli Departemen Hukum dan Agraria YPDT ini.
Judika Malau justru lebih optimis bahwa Bahasa Batak tidak akan punah selama Gereja-gereja bernuansa kesukuan Batak masih melestarikan Bahasa Batak dalam aktivitas gerejawi.
Namun demikian, kita menyadari bahwa ada degradasi. Di sisi lain, mungkin kita perlu mendorong orang-orang Batak menciptakan lagu-lagu Batak berkualitas seperti misalnya karya Nahum Situmorang. Lewat lagu kita bisa melestarikan Bahasa Batak.
Edward Tigor Siahaan juga memiliki rasa optimis yang sama seperti Judika Malau. “Bahasa Batak tidak akan punah, tergantung apakah kita pemakai aktif atau pasif. Cenderung bahasa menjadi dominan apabila ada nilai ekonominya. Istri saya bikin kursus Bahasa Inggris di Siborongborong karena ada nilai ekonominya. Jadi kalau ingin aktif, marilah membuat Bahasa Batak bernilai ekonomi,” kata Wakil Ketua YPDT Perwakilan Tapanuli Utara ini.
“Kita perlu mem-branding-kan Bahasa Batak,” ajak sang fotografer Batak dan pemilik Piltik coffee shop and homestay di Siborongborong ini.
Pernahkah kita terpikirkan ketika Gunung Toba meletus 74.000 tahun lalu yang menyebabkan tersisa sepertiga penduduk dunia dan orang-orang Batak ada di situ dan hebatnya mereka menuju tempat meletusnya Gunung Toba tersebut? Ini perlu di-branding, karena orang Batak berani dan juga nekat.
Passiona Sihombing (Anggota YPDT Perwakilan Dairi dan dua kali menjadi Ketua Panitia Lokal Gerakan Cinta Danau Toba pada 2015 dan 2016) mengingatkan: “Pertama, di pinggir Danau Toba, Kabupaten Dairi agak unik budayanya. Di situ ada Pakpak, Dairi, Karo, dan Simalungun. Jadi kalau hanya sosialisasi tentang Batak Toba, agak sensitif.
Kedua, kita tidak perlu terlalu khawatir terkait kepunahan Bahasa Batak, karena diterjang Bahasa Inggris, Mandarin, Jepang, Korea, dan lain-lain. Yang menjadi permasalahan adalah daya tahan kita.
Ini jago Bahasa Batak, tetapi di sekolah tidak jago Bahasa Indonesia menjadi permasalahan juga. Selain lewat komunikasi, juga perlu melalui tari-tarian, torsa-torsa, lagu-lagu, dan sebagainya. Pendekatan itu sangat efektif bagi anak-anak.
Tidak bisa kita paksakan harus berbahasa Batak, biarlah tetap yang bisa berbahasa lain, dipergunakanlah bahasa tersebut. Karena itulah perubahan zaman. Kita harus mampu mengikuti perkembangan zaman, tetapi tidak harus digilas zaman. Jadi mari tidak khawatir, tetapi mari tetap kita rawat.”
Tiomora Esther Sitanggang: “Saya mau cerita saja. Dahulu saya protes diberikan nama Batak. Tetapi ketika merantau dan mengetahui artinya saya senang dan merindukannya.
Kemudian saya dapat suami yang mukanya terlalu Batak dari ITB. Pada akhirnya anakku sekembar ada juga nama Bataknya.” Ada kebanggaan juga punya nama Batak.
Andaru Satnyoto (Sekretaris Umum YPDT): “Saya sepakat Bahasa Batak tidak akan punah selama ada penopang budayanya. Dalam ilmu Politik dikenal istilah over representative (keterwakilan tertinggi) dan under representative (keterwakilan terendah).
Menurut saya orang Batak justru berada pada posisi over representative. Jadi saya tidak heran kalau orang Batak menjadi Top Mindnya Indonesia. Sebenarnya pada Diskusi Kamisan yang lalu, kita pernah bicarakan bahwa diperlukan Universitas Danau Toba untuk menjaga kebudayaannya.
Di sinilah berlaku Hukum Darwin bahwa suasana kompetitif itu tetap ada (Red: mereka yang mampu menyesuaikanlah yang dapat bertahan hidup – the fittest of the survival).”
Henny Andries, yang adiknya menikah dengan Bachtiar Siregar, turut hadir dalam diskusi tersebut merasa bangga dengan berbagai pihak yang mau memelihara budaya Batak.
Cara-cara seperti ini sangat positif dan harus dihidupkan. “Pengalaman saya di Amerika Serikat (AS), persatuan Batak di AS sangat kuat sekali. Di Barkeley, California, saat penampilan gondang Batak, sampai ribuan orang Batak di penjuru AS datang.
Kami sampai kewalahan mengurusinya. Persatuan Batak di California kuat/erat sekali. Di semua tempat yang saya datangi, Persatuan Bataknya sangat kuat di berbagai kota.
Ketika Gubernur Sumatera Utara datang mengunjungi komunitas Batak di AS tahun 1988-1992 dengan program Martabenya, semua mendukung. Tidak hanya di AS, Persatuan Batak di Norwegia, India, dll juga banyak dan kuat.
Di manapun orang Batak berada, persatuan mereka kuat sekali. Jadi bagi saya mudah-mudahan ini tetap dipelihara,” ungkap ibu berdarah Manado ini, tetapi berkarakter Batak.
Tidak kalah dengan para orang tua yang sudah berbicara, seorang pemuda (naposo) Batak pun angkat bicara. Dia adalah Edi Silaban. Dua hal yang disampaikan Silaban, pertama bahwa kebiasaan orangtua berbahasa Batak di rumah turut andil dalam membentuk anak bisa berbahasa Batak.
Kedua, Silaban sangat tertarik ingin mendokumentasikan dalam bentuk buku berbagai kearifan budaya yang masih dimiliki Raja Hata.
Baca juga: DANAU TOBA YA DANAU TOBA, BUKAN MONACO
Suara naposo lainnya datang dari Darman Saidi Siahaan (Ketua Umum Naposo Batak Jabodetabek [NABAJA]).
Ketum NABAJA ini merasa senang dengan adanya Gerakan Cinta Danau Toba (GCDT) yang dilaksanakan dua kali oleh YPDT. Ia berharap melalui GCDT dapat juga menggerakkan pelestarian Bahasa Batak sambil melestarikan Danau Toba.
Reymond Sihombing, salah satu ‘naposo’ Batak lulusan doktor sebuah universitas di Rusia, merasakan juga memiliki kekhawatiran terhadap kepunahan Bahasa Batak. Bukan sebuah kebetulan jika saat ini istrinya (seorang Rusia) sedang menyusun disertasi untuk penelitian kuantitatif dan kualitatif terhadap punguan Simangunsong dan Sihombing di Jakarta.
Analisis desertasinya menyatakan bahwa dalam dua puluh tahun ke depan adat Batak akan punah. Alasannya karena mayoritas generasi muda Batak di Jakarta menyatakan bahwa pertama adat Batak itu membosankan dan kedua jikalau ditanya Bahasa Batak, Bahasa Batak itu kampungan. Kesimpulan ketiga, di kemudian hari akan muncul bisnis Parhata.
Misalnya, ada marga Sirait tidak tahu parhata, dia bisa sewa orang lain yang faham parhata. Dia melihat konsep waktu Batak itu sangat sempurna karena melihat dari alam.
Meminjam pandangan Profesor Smith dari Perancis, dia mengatakan bahwa suku bangsa yang paling erat kekerabatannya adalah suku Batak.
Kekerabatan suku Batak di Kawasan Danau Toba harus terus-menerus dipelihara dan jangan sampai terjual. Kalau sampai terjual, maka akan selesai sudah.
Maruap Siahaan (Ketua Umum YPDT) mengakui bahwa pada awalnya dia tidak terlalu tertarik dengan Batak. “Tetapi ketika di luar negeri, saya tidak melihat ada Bahasa Inggris. Misalnya, ketika saya berada di Cina, bahasa dan tulisan (aksara) mereka sampai ke desa-desanya. Begitu juga di Jepang dan Korea,” ujar Siahaan.
YPDT tidak lama lagi akan membentuk Batak Center atau Pusat Habatakon. “Kita ingin mengembalikan kembali Batak agar memiliki pengaruh. Jadi harus kita kembalikan roh (spirit) Batak kepada jatidirinya. Pertemuan kita ini adalah refleksi supaya kembali pada akarnya dan rohnya kembali ke dagingnya.
Pengetahuan yang kita peroleh, kita kembalikan kepada Sang Khalik,” demikian seruan Ketum YPDT.
Di akhir Diskusi Kamisan ini, Jerry R.H. Sirait, pemrasan, menyampaikan rangkuman antara lain:
Pertama, Bahasa Batak itu sangat berharga.
Kedua, benarkah akan punah? Sebagian mengatakan akan punah, tetapi sebagian mengatakan tidak akan punah. Kita masih memiliki harapan untuk melestarikan Bahasa Batak. Dorong dan dukunglah naposo Batak karena di tangan merekalah tongkat estafet itu. Di sisi lain, ketidakpunahan itu terkait juga berharganya tanah. Dari tanah permulaan dagingmu.
Ketiga, identitas habatakon itu perlu dipelihara, dikembangkan, dan diwariskan (palumehon). Semoga di bulan Juli 2017, Batak Center atau Pusat Habatakon dapat dibentuk untuk palumehon tersebut.
Saut Poltak Tambunan juga menambahkan beberapa hal:
Pertama, ranah kearifan lokal tersingkir oleh pranata hukum. Pranata hukum sangat jauh memasuki ranah kearifan lokal. Seorang anak dapat melaporkan ibunya ke pengadilan. Padahal itu seharusnya ranah lokalitas. Jadi mari kita kembalikan jalurnya ke kearifan lokal.
Kedua, Rancaege, hanya tiga bahasa yang diberikan penghargaan, yaitu Bali, Jawa, dan Sunda. Tetapi mulai tahun 2015, masuklah buku Situmoing, yang sangat fenomenal tidak hanya orang Batak tetapi juga di luar Batak.
Rancaege 2017 terpaksa menyediakan hadiah untuk Lampung, Banyuwangi, Banten, dll. Ini adalah momentum efouria penulisan Bahasa Batak. Momen ini harus kita manfaatkan. Banyuwangi yang kecil tahun ini akan mendapatkan hadiah Rancaege.
Ketiga, bagaimana sebenarnya Bahasa Batak dapat bernilai ekonomi? Buatlah karyamu melalui pemberdayaan Bahasa Batak.
Saya sudah memulainya dengan mempopulerkan sastra modern berbahasa Batak. Jadi tidak hanya orang Batak yang terinspirasi menulis buku bahasa Batak, tetapi komunitas di facebook juga mempraktekkannya.
Kita dapat juga merancang Program Habatakon bernilai ekonomi, misalnya membuat modul Katekisasi Sidi dan Katekisasi Pra-nikah untuk Gereja-gereja bernuansa suku Batak, seperti dasar-dasar Habatakon, partuturan dalam Bahasa Batak, dan penggunaan ulos.
Keempat, terkait Aksara Batak. Suku Batak menjadi salah satu dari 7 atau 8 suku yang memiliki aksara. Bahkan sepertinya Batak satu-satunya yang memiliki penanggalan (kalender). Oleh karena itu, titik baliknya kita buat ke arah sana.
Kelima, Bahasa Batak tidak punah tetapi pasif, apa gunanya? Bertumbuh dan berkembang, hidupkanlah bahasa itu. Di Bibel (Alkitab) pun Bahasa Batak sudah banyak yang Arkais.
Keenam, pintu masuk untuk pulang ke kearifan lokal itu melalui Bahasa Batak.
Demikianlah penutup Diskusi Kamisan ini. Diskusi Kamisan ini sangat antusias dihadiri orang-orang Batak yang berdiaspora di Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi). Tanpa disangka, hadir juga orang-orang Batak langsung dari Siborongborong dan Dairi.
Selain nama-nama yang sudah disebutkan di atas, Diskusi Kamisan ini dihadiri oleh: Januar Reinnal Siahaan, Rio Pangaribuan, Robert Pakpahan, Ocha Sihombing, Tiendy Rose Panjaitan, Susi Rio Panjaitan, Adolf Siregar, Marsinta Panjaitan, Herlina Sirait, Lenny Rumahorbo, Ramli Sirait, Timotius H. Siahaan, Riris Sihombing, Deacy Maria Lumbanraja, Lena M. Sihaloho, Jhohannes Marbun (Sekretaris Eksekutif YPDT), Tania Sihombing, dan Boy Tonggor Siahaan. (BTS dan JM)
BAHASA BATAK TIDAK AKAN MATI. KARENA NENEK MOYANG KAMI BERJANJI. AKAN MENURUNKAN REKARNASINYA MELALUI CUCUNYA YANG HIDUP SAAT INI. YANG SAYA TAKUTKAN, BANYAKNYA MASYARAKAT YANG ADA PADA SAAT INI, LUPA AKAN SILSILAH NENEK MOYANGNYA SENDIRI. SUNGGUH MEMALUKAN, BAHKAN BANYAK USIA40 TAHUN KE ATAS TIDAK TAHU SILSILAH NENK MOYANGNYA, BAGAIMANA DENGAN KETURUNANNYA?. SEKARANG LEBIH BANYAK MASYARAKAT BATAK YANG KAMI SEBUT DENGAN ‘ ORANG BATAK DALLE”. KENAPA? YANG DIA TAHU DIA ORANG BATAK, TAPI TIDAK TAHU AKAN SILSILAH, BUDAYA, DAN ADAT ISTIADAT ORANG BATAK. MASIH INGAT DENGAN PESAN OPPPUNG SIRAJA BATAK ” ARGADO BONANI PINASA, DIAKKA NABISUK MAROHA, AIDO PODANA TUHITA PINOPPARNA” . ORANG YANG TIDAK MENGENAL “BONANI PINASA, TIDAK AKAN HIDUP DALAM KETENANGAN, TETAPI HIDUP DENGAN KEKAYAAN DAN PENUH KEHAWATIRAN YANG TIDAK JELAS. ” APAKAH ANDA TAHU ARTI ” HAOMION”. ORANG BATAK ASLI TAHU APA ITU, ORANG BATAK DALLE TIDAK AKAN TAHU ITU? TERIMA KASIH DAN SEMOGA ANDA PANJANG UMUR. SALAM PUSUK BUHIT.
HORAS HORAS HORAS
Horas!!! Lestarikan budaya Batak melalui media sosial di kalangan orang Batak.