JAKARTA, DanauToba.org ꟷ Menyikapi persoalan-persoalan yang dialami masyarakat di Kawasan Danau Toba (KDT) akibat dugaan tindak pelanggaran oleh PT Toba Pulp Lestari Tbk (disingkat TPL), organisasi-organisasi masyarakat di Jakarta dan di Sumatera Utara membentuk aliansi yang mereka sebut Aliansi Gerakan Rakyat Tutup TPL. Aliansi Gerakan tersebut memulai pertemuannya lewat zoom meeting pada Senin (24/5/2021) pada pukul 14:00 WIB dan pada pukul 17:00 WIB mengadakan pertemuan tatap muka di Jakarta untuk konsilidasi.
Aliansi Gerakan Rakyat Tutup TPL ini adalah organisasi masyarakat terdiri dari Yayasan Pencinta Danau Toba (YPDT), KSPPM, AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara), BATAK CENTER, Yayasan Peduli Bona Pasogit, Yayasan Percepatan Pembangunan Kawasan Danau Toba (YP2KDT), Naposo Batak Jabodetabek (NABAJA), dan Lokus Adat Budaya Batak (LABB). Aliansi ini juga mendapat dukungan dari PGI (Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia), GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia), GAMKI (Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia), dan Forum Bangso Batak Indonesia (FBBI).
Dalam pertemuan tatap muka untuk konsilidasi, Aliansi Gerakan ini membicarakan rencana gerakan dan langkah strategis yang akan diambil. Beberapa pandangan dalam pertemuan tersebut telah disarikan dalam uraian berikut ini.
Maruap Siahaan (Ketua Umum YPDT) menegaskan bahwa masyarakat di KDT selama 30 tahun lebih mengalami “penjajahan” sejak kehadiran PT Inti Indorayon Utama (disingkat IIU) pada era 1980-an. Kehadiran IIU tersebut menimbulkan konflik horisontal dengan masyarakat dan ulayat setempat di beberapa kawasan hutan adat. Konflik yang berkepanjangan dan tidak menemukan titik terang dalam penyelesaian mendorong Yayasan Perhimpunan Pencinta Danau Toba (YPPDT, sebelum menjadi YPDT pada 2005) mengajukan permohonan kepada Presiden B.J. Habibie karena kehadiran IIU atau Indorayon menimbulkan pencemaran lingkungan yang mengakibatkan kerusakan hutan. Akhirnya B.J. Habibie menutup Indorayon atas kajian riset yang dilakukan Tim YPPDT dipimpin Prof. Dr. Midian Sirait. Namun sangat disayangkan pada masa Pemerintahan yang dipimpin Presiden Megawati Soekarnoputri, Indorayon dibuka kembali dengan menggunakan nama baru, yaitu: PT Toba Pulp Lestari.
Sejak hadirnya perusahaan bubur kertas tersebut, TPL tidak jauh berbeda dengan Indorayon sepak terjangnya. Kehadirannya lebih banyak menimbulkan konflik horisontal dengan masyarakat setempat dan diduga giat melakukan penjajahan terhadap tanah ulayat adat dan tanah masyarakat dengan praktek-praktek kecurangan dengan segala cara.
Masyarakat adat sudah melaporkan kecurangan-kecurangan tersebut kepada pemerintah daerah dan aparat, tetapi tampaknya seringkali mengalami jalan buntu, sehingga mereka mengadu nasibnya kepada lembaga-lembaga lingkungan hidup dan masyarakat adat seperti KSPPM, WALHI, AMAN, YPDT, dan sebagainya.
Gaya lama TPL makin bergolak ketika baru-baru ini di Desa Natumikka, Toba, Sumut, terjadi bentrokan fisik yang menimpulkan korban luka-luka di pihak masyarakat. Pihak TPL diduga bertindak melampaui batas kemanusiaan, sehingga terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Inilah yang memicu munculnya perlawanan masyarakat terhadap TPL. Perlawanan bukan saja memicu andrenalin masyarakat setempat, tetapi juga menggelorakan semangat masyarakat Batak di manapun berada dengan perlawanan dan menyerukan TUTUP TPL.
Menyambung apa yang disampaikan Maruap Siahaan, Martin Sirait mengingatkan kembali apa yang sudah dilakukan YPPDT memberi masukan dan rekomendasi kepada B.J. Habibie. Hal itu tertuang dalam laporan kajian YPPDT yang sudah dibukukan dengan judul: Dampak Operasi PT Inti Indorayon Utama Terhadap Lingkungan Danau Toba. Buku tersebut diterbitkan YPDT pada 1999. Rekomendasi YPPDT inilah yang membuat operasional Indorayon ditutup sementara sampai ada kajian yang lebih lengkap.
Lorensius Manurung (Ketua Umum YP2KDT) menyatakan bahwa kita semua harus sepakat TPL harus ditutup. Soal mengapa harus ditutup, kita tidak perlu mempertanyakan lagi karena sudah jelas TPL menimbulkan banyak masalah ketimbang manfaat kehadirannya di KDT.
Santiamer Sihaloho (Sekretaris Jenderal LABB) mempertegas bahwa Aliansi Gerakan ini intinya untuk menyelamatkan Kawasan Danau Toba sebagai icon orang Batak dari kerusakan lingkungan hidup. Kebetulan isu yang sedang mencuat adalah kasus TPL. Sebenarnya masih banyak kasus-kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan di KDT yang harus segera diatasi. Di sinilah Aliansi Gerakan ini mampu juga mengatasi kasus-kasus tersebut selain kasus TPL.
Santiamer juga menyarankan ada baiknya kita tidak lagi menggunakan diksi masyarakat adat, tetapi masyarakat hukum adat. Ada perbedaan yang signifikan di antara keduanya. Masyarakat adat itu sifatnya atributif, tetapi masyarakat hukum adat sifatnya organik.
Ketua Umum BATAK CENTER Sintong M. Tampubolon menawarkan suatu memorandum kepada TPL. Memorandum tersebut berisi kesepakatan agar pihak TPL melakukan reboisasi (penanaman kembali) hutan-hutan gundul, baik yang dilakukannya maupun oleh masyarakat. Reboisasi ini dilakukan pada suatu batas waktu tertentu yang disepakati bersama antara pihak TPL dan masyarakat, misalnya 10, 15, atau 20 tahun. Inilah yang menjadi dasar kita melestarikan lingkungan hidup di KDT dan ketersediaan air Danau Toba yang bersih seperti sedia kala.
Hadir juga dalam pertemuan tersebut Pdt. Faber Manurung selaku korban dampak buruk lingkungan limbah racun dari TPL di tanah nenek moyangnya di Parbulu, Toba, Sumut, yang menurutnya dirampas TPL dengan kecurangan. Dia berharap agar TPL mengembalikan tanah mereka dan merabilitasi kerusakan lingkungan di kampung halamannya dari pembuangan limbah industri TPL.
Ketua Umum NABAJA Darman Saidi Siahaan mengatakan bahwa kehadiran TPL di tanah Batak karena kesalahan pemerintah pusat yang memberikan izin kepada TPL. “Sebagai generasi muda Batak, saya bertanya sampai kapan tanah Batak kembali kepada kita sebagai pemiliknya orang Batak? Karena itulah, saya mengajak naposo (kaum muda) Batak, kita harus kembali merebut tanah Batak,” ujar Darman.
Eliakim Sitorus mewakili KSPPM menceritakan pengalamannya bagaimana ia cukup lama mendampingi (advokasi) masyarakat dan para korban yang diakibatkan konflik dengan TPL. Eliakim menyarankan agar gerakan sosial di akar rumput perlu sejalan dengan advokasi di tingkat atas. Menurut Eliakim, setidaknya ada 24 kelompok masyarakat yang ditindas oleh pihak TPL selama 20 tahun terakhir hingga saat ini.
Sandi Situngkir mewakili Bidang Hukum YPDT menawarkan dua opsi apakah kita mengangkat isu tutup TPL atau selamatkan Danau Toba? Kalau isu TPL, itu hanya sebatas di wilayah Porsea dan sekitarnya. Sebaliknya, kalau isu selamatkan Danau Toba, maka lebih meluas seluruh Kawasan Danau Toba kita perjuangkan.
Karena perjuangan kita menyelamatkan Kawasan Danau Toba, maka kita harus memanfaatkan media sosial sebagai media kampanye Aliansi Gerakan ini. Dengan demikian kita dapat menggerakkan generasi milenial Batak memainkan media sosial sebagai sarana kampanye tersebut. Di sinilah kita memperkuat media sosial.
Domu D. Ambarita berasal dari Sipahoras, Kabupaten Simaungun, Sumut, menceritakan bagaimana adiknya sendiri terkriminalisasi dalam konflik TPL dan masyarakat. Karena itu, kami bersama dengan teman-teman dari pegiat lingkungan hidup dan masyarakat adat sepakat membuat suatu narasi membangun kesadaran bersama melawan TPL yang setidaknya telah melakukan kriminalisasi sekitar 50 orang sejak 2002.
Peserta yang hadir dalam pertemuan tersebut antara lain: Maruap Siahaan (YPDT), Jhohannes Marbun (YPDT), Sandi Situngkir (YPDT) bersama anak abangnya (Situngkir), Sintong M. Tampubolon (BATAK CENTER dan Forum Peduli Bona Pasogit), Martin Sirait (Forum Bona Pasogit), Eliakim Sitorus (KSPPM), Pdt. Faber Manurung (korban TPL), Lorensius Manurung (YP2KDT), St. Yansen Manurung (Masyarakat Parbulu – Toba), Darman Saidi Siahaan (NABAJA), Santiamer Sihaloho (LABB), Domu D. Ambarita (Masyarakat Adat Sihaporas – Simalungun), dan Boy Tonggor Siahaan (YPDT). (BTS)