JAKARTA, DanauToba.org ― Yayasan Pencinta Danau Toba (YPDT) mengangkat topik diskusi: Air Danau Toba Adalah Air Emas. Topik menarik ini mengundang banyak orang untuk hadir dalam Diskusi Kamisan pada Kamis (18/10/2018). Diskusi Kamisan adalah sarana diskusi yang difasilitasi YPDT untuk mengangkat isu penting dan hangat yang terkait dengan Kawasan Danau Toba dan Budaya Batak.
Apakah yang dimaksud air Danau Toba adalah Air Emas? Tentu setiap orang ingin mengetahuinya lebih mendalam. Sebelum kita menjawab pertanyaan di atas, ada baiknya kita ikuti terlebih dahulu paparan Diskusi Kamisan ini.
Maruap Siahaan selaku Ketua Umum (Ketum) YPDT sudah sejak lama mengatakan bahwa air Danau Toba itu adalah Air Emas. Namun, apa yang dikatakan Ketum tidak banyak orang yang menanggapi. Air Danau Toba itu tidak ada yang memikirkan sebagai Air Emas.
Istilah Air Emas menarik untuk kita eksplorasi. Tentu saja Air Emas itu tidak dapat kita terjemahkan secara harafiah. Ada makna terdalam pada pemakaian istilah tersebut.
Sebagaimana kita ketahui bahwa air adalah sumber kehidupan bagi seluruh makhluk hidup. Karena itu, Negara kita telah mengamanatkan dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 bahwa air harus dikuasai negara karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Penguasaan air harus ada pembatasan ketat sebagai upaya menjaga kelestarian dan ketersediaan air bagi kehidupan.
Inilah yang menjadi dasar Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus keberadaan seluruh pasal dalam UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) yang diajukan Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Dkk (sumber: hukumonline.com). Apakah ini memungkinkan masyarakat sekitar Danau Toba melakukan gugatan seperti ini di mana air Danau Toba dieksploitasi secara tidak bertanggung jawab oleh pihak perusahaan-perusahaan perusak perairan Danau Toba?
Jka kita berbicara soal kerusakan air sebagai sumber kehidupan, tidak hanya air Danau Toba saja yang sudah rusak. Setidaknya kita dapat mendaftarkan beberapa air danau yang mengalami kerusakan di antaranya: Maninjau, Singkarak, Kerinci, Rawa Pening, Batur, Tempe, Poso, Tondano, Sentarum, dan Sentani, dan lain-lain.
Maruap Siahaan sendiri mengungkapkan bahwa ketika ia datang pada 1995 ke Danau Toba dan kemudian kembali lagi datang pada 2015, ia melihat tidak ada perubahan yang signifikan pertumbuhan atau peningkatan kesejahteraan masyarakat di Kawasan Danau Toba (KDT). Yang ia lihat justru sebaliknya, pencemaran dan kerusakan air Danau Toba.
Persoalan pencemaran atau kerusakan air Danau Toba hampir luput dari perhatian banyak pihak. Persoalan tersebut tidak dianggap sebagai persoalan yang sangat serius padahal amanat Pasal 33 UUD 1945 jelas sekali menyuarakannya. Apakah kita sudah “buta” dan “tuli” terhadap persoalan tersebut? Kita hanya disibukkan untuk hal-hal yang sepele. Dengan meminjam perkataan Presiden Joko Widodo, ”Kita jangan berpikir secara sektoral.” Maksud Presiden adalah agar kita jangan mengutamakan kepentingan sendiri dan golongan, tetapi kepentingan seluruh rakyat Indonesia.
Mari kita mengerucut pada persoalan air Danau Toba. Persoalan utama yang berdampak pada air Danau Toba antara lain: pembersihan lahan menghasilkan erosi dan limpasan tanah, penggunaan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) bagi industri-industri besar, budidaya ikan, penggunaan tempat tinggal dan komersial – limbah, dan limpasan pertanian.
Persoalan yang disoroti dalam Diskusi Kamisan ini adalah persoalan makin menurunnya mutu air Danau Toba yang digolongkan dalam kelas satu setara air minum (lihat Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 dan Peraturan Gubernur Sumatera Utara Nomor 1 Tahun 2009).
Penyebab kerusakan air Danau Toba dimulai dari pembabatan hutan-hutan di sekitar Danau Toba yang mana hutan-hutan tersebut menjadi penampung dan penyaring air hujan sebelum dialirkan ke Danau Toba melalui sungai-sungai yang bermuara ke Danau Toba.
Sebagai contoh, PT Indo Rayon terbukti merusak hutan-hutan di KDT untuk kepentingan industrinya. Meskipun perusahaan tersebut telah ditutup Pemerintah dan berganti nama menjadi PT Toba Pulp Lestari (TPL), tetapi TPL berperilaku sama seperti Indo Rayon merusak hutan-hutan tanpa mengindahkan kerusakan lingkungan hutan dan perairan Danau Toba.
Belum beres masalah TPL dituntaskan, masuk lagi perusahan lain PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) yang membendung keluarnya air Danau Toba melalui Sungai Asahan dengan membangun Bendungan Siruar, sehigga terjadi fluktualisasi debit air Danau Toba yang semakin turun kuantitasnya dalam beberapa dekade terakhir ini.
Pada awalnya adalah proyek PLTA dan kemudian merambah ke perencanaan proses aluminium. Sejak dimulainya proyek tersebut, air Danau Toba pada 1984–1996 berkurang mencapai 5 meter. Periode 2015–2018, air Danau Toba berkurang kembali 2–3 meter.
Setelah Inalum dan TPL, muncul lagi berbagai Keramba Jaring Apung (KJA) yang merusak kualitas air dan pemandangan indah di Danau Toba. KJA tersebut adalah KJA-KJA masyarakat lokal (yang notabene pemiliknya cukup banyak orang luar) dan KJA-KJA perusahan seperti PT Aquafarm Nusantara (anak perusahaan asing Regal Springs dari Swiss, beroperasi sejak 1998) dan PT Suri Tani Pemuka (anak perusahaan dari Japfa Comfeed, beroperasi sejak 2014).
Dampak menurunnya air Danau Toba makin diperparah dengan emisi budidaya ikan (aquaculture) dengan memperburuk kualitas air Danau Toba (World Bank, September 2018). Sebelumnya Kementerian Pekerjaan Umum sudah mengeluarkan peraturan bahwa permintaan air estimasi dasarnya menggunakan 7 mm/hari/hektar (Peraturan Menteri Pekerjaan Umum, 1993).
YPDT juga memiliki fakta dan data akurat terkait penurunan kualitas air Danau Toba melalui pengujian Sucofindo, lembaga riset independen yang kredibel. Riset dilakukan pada 10 November 2016. Hasil riset Sucofindo membutikan bahwa kualitas air Danau Toba tercemar. Belum lama ini, 10 Juli 2018, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) juga mengeluarkan publikasi media dengan menegaskan bahwa KJA adalah sumber utama pencemaran air Danau Toba.
Kembali ke persoalan Inalum. Inalum bersama PT Freeport Indonesia menargetkan produksi 225.000 ton aluminium per tahun. Inalum mengendalikan 51% saham PT Freeport Indonesia. Dalam proses produksinya, Inalum menggunakan PLTA pada Sungai Asahan melalui PLTA Siguragura (286 MW) dan PLTA Tangga (317 MW) yang memanfaatkan 2,9 juta ton/m3 air Danau Toba.
Inalum membayar biaya tahunan (annual fee) Dana Konservasi Alam Danau Toba untuk investasi rehabilitasi lahan-lahan kritis di lima kabupaten dan program penghutanan kembali (reforestation) tahun 2017-2019 untuk 1.000 hektar lahan di KDT.
Antara tahun 1982 sampai 1999, Inalum telah membayar biaya tahunannya (annual fee) sebesar US$ 59 juta dan pada 2005 Inalum sudah membayar US$ 2,6 juta untuk pajak tanah dan bangunan serta biaya penggunaan air. Jika melihat annual fee tersebut, maka Inalum membayar kira-kira Rp 5,18/m3. Sementara, regular tarif ideal penggunaan air di KDT adalah Rp 75-100/m3. Ini berarti perusahaan industri raksasa diuntungkan, tetapi rakyat dirugikan.
Ada hal menggelitik, kalau memang Inalum sudah membayar semua annual fee dari 1982 sampai 1999 seperti yang dijelaskan di atas, lalu mengapa masyarakat tidak merasakan dan melihat adanya rehabilitasi lahan-lahan kritis di 5 kabupaten tersebut.
Selanjutnya, jika program reforestation sejak 2017 sudah dilaksanakan, pertanyaannya adalah apa wujud nyata dari reforestation tersebut? Di mana lahan 1.000 hektar tersebut? Apakah Inalum sedang membodohi kita?
Okelah, Inalum sudah menunjukkan itikad baik (tetapi belum tentu benar) dengan membayar biaya penggunaan air Danau Toba melalui annual fee. Bandingkan dengan Aquafarm dan PT Suri Tani Pemuka. Mereka sudah menggunakan air Danau Toba secara gratis dan malah merusak/mencemari air Danau Toba tanpa ada tanggung jawab. Air Emas kita sudah mereka rampok.
Inalum, TPL, Aquafarm, dan PT Suri Tani Pemuka adalah perusahaan yang berlabel “perusak air Danau Toba”. Masyarakat harus cerdas membaca tindak-tanduk mereka dan menolak keberadaan mereka di KDT.
Lalu di manakah tanggung jawab pemerintah terhadap kontrol perencanaan dan implementasinya? Di manakah pemerintah untuk melakukan pengelolaan dan pengawasan terhadap kualitas air Danau Toba? Apa solusi pemerintah yang berkuasa saat ini mengatasi persoalan air Danau Toba yang sudah tidak lagi menjadi Air Emas? Air Danau Toba yang sesungguhnya berharga bagaikan emas menjadi tidak berharga. Kenapa bisa terjadi demikian?
Dari hasil Diskusi Kamisan, Andaru Satnyoto (Sekum YPDT) selaku moderator merangkumkan sebagai berikut:
- Masyarakat belum terlalu paham terhadap kenyataan dalam persoalan yang mereka alami dan seakan-akan menerima nasib saja.
- Masyarakat membutuhkan pencerahan dan informasi yang akurat sesuai fakta bukan semata-mata data yang dapat dibelokkan oleh pihak yang memiliki kepentingan.
- Perusahaan-perusahaan industri besar kebanyakan menutupi “dosa” mereka dengan memberikan CSR (Corporate Social Responsibility) kepada masyarakat agar terkesan mereka seperti malaikat.
- Hati-hati dengan skenario perusahan-perusahaan tersebut karena mereka suka mengadu domba masyarakat dan memanfaatkan oknum penguasa di pemerintahan untuk melanggengkan kerakusan mereka.
- Masyarakat hendaknya tidak bergantung sepenuhnya kepada pemerintah, tetapi tetap kritis terhadap kebijakan pemerintah yang mengacu pada kepentingan rakyat.
- Setiap orang tanpa terkecuali harus mengutamakan kejujuran dan itu dimulai dari kita sendiri.
- YPDT memposisikan berada di garda terdepan dalam memberikan pencerahan dan pencerdasan kepada masyarakat.
Diskusi Kamisan ini dihadiri pemantik diskusi Bindu Philips, Hank van Apeldoorn, dan Jhohannes Marbun (Sekretaris Eksekutif YPDT). Peserta yang hadir adalah Maruap Siahaan, Andaru Satnyoto, Pdt Marihot Siahaan (Sekretaris YPDT), Sebastian Hutabarat (YPDT Perwakilan Toba Samosir), Saut Poltak Tambunan (YPDT), Carlos Margales, Judika Malau, Susi Rio Panjaitan, Tiendy Rose Panjaitan, Rio Pangaribuan, Dedy Boy Pangaribuan, Darman S. Siahaan, Edi Silaban, Sandy Ronny Purba, dan Jimmy Pardede.
Pewarta: Boy Tonggor Siahaan